Sabtu, 22 November 2008

Hak Remaja atas Kesehatan Reproduksi












Hak Remaja atas Kesehatan Reproduksi



DI Indonesia, kelompok yang rentan terhadap pengabaian hak-hak kesehatan reproduksi adalah remaja. Mereka adalah korban diam, yang seringkali dihakimi secara tidak adil. Padahal usia remaja adalah usia di mana organ reproduksi rentan terhadap infeksi saluran reproduksi, kehamilan, dan penggunaan obat-obatan. Tetapi, di mana mereka mendapat hak atas informasi, hak atas pemberdayaan, hak atas pelayanan kesehatan reproduksi, jika mereka membutuhkan kejelasan, atau bahkan menderita infeksi, hamil, mengalami pelecehan dan atau kekerasan seksual?

Jika menghitung kuantitas penduduk remaja, jumlahnya tidak dapat diremehkan. Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2000, jumlah dan persentase penduduk Indonesia golongan usia 10-24 tahun (definisi WHO untuk young people) adalah 64 juta atau sekitar 31 persen dari total seluruh populasi, sedangkan khusus untuk remaja usia 10-19 tahun (definisi WHO untuk adolescence), berjumlah 44 juta atau 21 persen.

Aset yang potensial ini bukanlah prioritas indikator kesehatan yang penting bagi pemerintah, karena tidak satu pun program pemerintah yang memiliki daya penegakan terukur dalam mencapai target kuantitas dan kualitas kesehatan reproduksi remaja

Jadi, walaupun Departemen Kesehatan telah membuat visi tentang Pola Pembinaan Kesehatan Reproduksi Remaja pada tahun 1993, dengan indikator keluaran berupa angka kehamilan remaja, angka kematian bayi dari remaja akibat kehamilan di luar nikah, angka kematian remaja akibat hamil di luar nikah, angka kejadian abortus remaja dan angka kejadian penyakit menular seksual (PMS) remaja di fasilitas kesehatan; semua angka-angka ini tidak tampak di dalam Profil Kesehatan Indonesia tahun 2000, yang diterbitkan Departemen Kesehatan RI, Jakarta 2001. Bagaimana hendak membuat program yang terintegrasi, jika pemerintah belum menyatakan "ini penting" demi mencapai kualitas sumber daya manusia Indonesia yang utuh?

Hak dasar remaja

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bekerja sama dengan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) melakukan penelitian persepsi seks bebas dan kesehatan reproduksi remaja SMU se-DKI Jakarta pada bulan Maret-Mei 2002. Pemilihan sekolah dilakukan secara purposive random, berdasarkan lima wilayah DKI Jakarta. Penelitian ini melibatkan 500 responden dengan usia responden 15-19 tahun, terdiri dari 59 persen pria dan 41 persen perempuan. Karakteristik responden terbesar adalah usia 17 tahun (36 persen), kelas 3 (50,6 persen), berasal dari SMU swasta (65 persen) dan uang jajan lebih dari
Rp 150.000/bulan sebesar 62 persen.

Dari hasil penelitian, diketahui 37 persen responden wanita tidak mengetahui fungsi organ reproduksi pria, 36 persen responden pria tidak mengetahui fungsi organ reproduksi wanita, dan sebesar 34 persen tidak mengetahui apa itu penyakit menular seksual (PMS). Sedangkan sumber informasi seks yang utama bagi remaja SMU ini adalah TV dan majalah (39 persen).

Sementara itu, informasi yang paling diinginkan remaja SMU tersebut adalah informasi mengenai PMS, termasuk HIV/ AIDS kemudian baru mengenai struktur biologis organ reproduksi. Dari hasil penelitian ini juga terungkap bahwa perilaku seksual responden yang pernah melakukan sanggama sebesar 4,2 persen, dengan wilayah terbesar di Jakarta Timur, yaitu sebesar tujuh persen. Angka yang cukup kecil ini terjadi karena 50 persen dari siswa SMU swasta yang men-
jadi responden adalah SMU yang bercorak agama.

Selain itu, ketika YLKI melakukan kampanye ke sekolah mengenai kesehatan reproduksi, memanfaatkan Masa Orientasi Sekolah (MOS) murid baru SMU pada bulan Juli 2002, terdapat lima peserta MOS yang pernah mengalami hamil di luar nikah dan empat peserta yang telah pernah menggugurkan kandungannya (aborsi), tanpa sepengetahuan sekolah.

Dalam acara kampanye YLKI yang memberi informasi mengenai reproduksi sehat dan & PMS tersebut juga terungkap kehausan peserta akan informasi dan kebutuhan konseling. Hanya ada seorang peserta yang mengungkapkan informasi yang diberikan sangat bermanfaat, tetapi dia berkomentar, "Saya masih merasa tabu mengetahuinya."

Pemenuhan hak

Hasil kuesioner ringkas peserta MOS setelah acara kampanye tersebut juga membuat tiga prioritas pemenuhan kebutuhan remaja SMU tersebut, yaitu adanya tempat konseling masalah kesehatan reproduksi di sekolah melalui guru BP dan OSIS, adanya pelayanan kesehatan reproduksi remaja di jasa pelayanan kesehatan yang terjangkau remaja, serta masuknya pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi ke dalam kurikulum sekolah.

Hal ini sejalan dengan komitmen yang dibuat pemerintah pada International Conference on Population and Development (ICPD) Kairo tahun 1994, antara lain pemenuhan kebutuhan remaja melalui program yang tepat termasuk pendidikan dan konseling, perlindungan remaja terhadap kekerasan, hubungan seksual yang aman, pelayanan KB, kesehatan reproduksi, PMS, prevensi HIV/AIDS, program prevensi dan perawatan pelecehan seksual remaja. Tetapi sayang, pemenuhan komitmen ini tidak berjalan sistematis dan menyeluruh, mengingat belum ada kebijakan yang memiliki daya penegakan hukum dan pelaksanaan yang terukur untuk mengintegrasikan hak remaja dalam memperoleh informasi, konseling,dan pelayanan kesehatan reproduksi.

Selain itu, komitmen ini seharusnya tidak hanya melibatkan Departemen Kesehatan, tetapi juga Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Pelibatan Depdiknas penting artinya, karena dengan masuknya pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi ke dalam kurikulum sekolah, remaja mendapat akses yang terprogram secara bertahap dan dapat dipertanggungjawabkan. Begitu juga dengan masuknya metode pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi ke dalam kurikulum pendidikan guru, akan sangat penting artinya untuk mendapatkan guru yang benar-benar bisa memahami dan menyampaikan informasi seksual dan kesehatan reproduksi kepada remaja.

Sedangkan untuk pelayanan kesehatan reproduksi remaja, Indonesia Sehat tahun 2010 memiliki target menurunkan prevalensi permasalahan remaja secara umum termasuk anemia pada remaja, dan target agar remaja mendapat akses pelayanan kesehatan reproduksi remaja melalui jalur sekolah.

Jika target ini hendak dipenuhi, tentu segala mekanisme pelaksanaan dan persiapan lintas sektoral perlu segera dilakukan. Jangan sampai target ini hanya menjadi hiasan semata, tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Termasuk juga ketika korban remaja terus bertambah; diam-diam, tanpa terukur, tanpa terperhatikan karena instrumen pengukuran dan perlindungan legalnya saja tidak ada.


REMAJA RENTAN HIV

Remaja Juga Rentan Terkena HIV/ AIDS


Sejak kasus HIV/AIDS pertama kali ditemukan di Bali pada tahun 1987, angka pertumbuhan pengidap HIV/AIDS enggak kunjung turun. Yang lebih mencengangkan, ternyata remaja selalu menempati ranking pertama sebagai kelompok terbesar pengidap HIV/AIDS dibandingkan dengan kelompok usia lain.

Bagi kita yang tergolong rentan tertular HIV/AIDS seperti berita di atas, tentu akan bertanya-tanya, Kenapa harus kita yang remaja? Jawaban pertanyaan tersebut sederhana saja, tapi enggak sederhana upaya penanganannya.

Selama ini, banyak di antara kita yang belum menyadari bahwa banyak tingkah laku atau perbuatan kita yang sangat berisiko tertular HIV/AIDS. Misalnya saja seks di luar nikah. Masih banyak di antara kita yang berpandangan bahwa seksualitas hanya masalah perawan atau enggak perawan. Padahal, hubungan seks di luar nikah cukup besar risikonya untuk menjadi hubungan seks yang enggak aman meskipun dilakukan dengan pacar sendiri.

Hubungan seks yang enggak aman bisa menyebabkan kehamilan tidak diinginkan (KTD). KTD sendiri kelak bisa menimbulkan masalah lain, baik fisik, sosial, maupun mental. Risiko lain dari hubungan seks seperti ini adalah terkena infeksi menular seksual (IMS) yang dapat menyebabkan kemandulan dan makin membuat kita rentan terhadap HIV/AIDS.

Ketidaktahuan kita terhadap perilaku kita sendiri yang berisiko tertular HIV/AIDS inilah yang justru memicu kemungkinan untuk tertular dan bahkan menyebarkan HIV/AIDS di kalangan teman-teman kita. Meskipun begitu, kita memang bukan satu-satunya pihak yang dianggap paling bersalah.

Akses Informasi

Wajar aja sih, kalau kita belum tahu banyak soal kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS. Maklum, akses informasi tentang kedua hal ini, termasuk masalah pelayanan konsultasi dan medis tentang hal tersebut, masih sangat terbatas. Kalaupun ada, terkesan kurang akrab buat kita. Akibatnya, kita mencoba mencari informasi di media lain yang kurang mendidik, seperti media seks pornografi.

Di kalangan kita, setidaknya ada tiga kelompok penting yang paling dekat dengan kehidupan kita, yaitu guru, ortu, dan teman-teman. Sayangnya komunikasi dengan ketiga pihak tersebut belum sepenuhnya optimal. Apalagi yang berkenaan dengan masalah seksualitas. Ada beberapa hal yang menyebabkannya.

Pertama, masih banyak ortu yang membatasi pembicaraan seksualitas dengan berbagai alasan. Seksualitas dianggap sebagai masalah tabu untuk dibicarakan. Akhirnya kita gagal mendapatkan informasi dari ortu yang seharusnya menjadi sumber informasi paling dekat dengan kita.

Kedua, masih ada guru yang cara berkomunikasinya cenderung kaku dan enggak terbuka. Padahal, guru memiliki segudang informasi tentang kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS. Beda dengan guru yang youth friendly. Pasti mereka bisa menjadi tempat curhat.

Ketiga, sebagian besar dari kita menganggap hubungan dengan teman adalah yang paling ideal sehingga lebih enak diajak berbicara masalah apa pun. Sayangnya, informasi dari teman sering enggak proporsional dan keliru.

Budaya permisif

Meski kita bukan satu-satunya penyebab tingginya kasus HIV/AIDS di lingkungan kita, tetapi budaya serba boleh (permisif) di kalangan kita mendorong perilaku seks enggak aman dan narkoba semakin meningkat. Dampaknya terlihat dari tingginya kasus HIV/AIDS tersebut, di mana penularan HIV terbesar adalah melalui hubungan seksual yang enggak aman dan pemakaian narkoba dengan jarum suntik.

Dalam diskusi dengan beberapa teman kadang muncul pernyataan terang-terangan, ...Ah, pacaran kalo cuma gandengan doang mah garing, enggak ciuman enggak asyik, lagi. Temen-temen juga sudah banyak kok yang sudah gituan (berhubungan seks Red). Gue nganggepnya fine-fine aja tuh.

Dari sisi kesehatan saja pernyataan tersebut sudah enggak benar, apalagi dari sisi norma agama dan norma sosial. Kalau cara pandang kita terhadap perilaku seksual semakin permisif, mustahil rasanya angka pengidap HIV/AIDS di kalangan kita akan menurun.

Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk menyikapi hal ini.

1. Buat media informasi tentang kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS di sekolah, seperti mading, buletin, atau kelompok diskusi kecil yang membahas masalah kesehatan reproduksi maupun HIV/AIDS dan narkoba.

2. Bangun komunikasi dengan ortu dan guru dalam suasana yang lebih terbuka. Kita jadi enggak ragu untuk menjadikan mereka tempat bertanya, sekaligus jadi tempat curhat.

3. Jauhkan diri dari tindakan atau perilaku yang bisa dikategorikan berisiko terhadap HIV/AIDS, baik terhadap kita sendiri maupun bersama teman-teman lain.

Teknologi nanopartikel menciptakan obat HIV sebulan sekali


Para peneliti berupaya memasukkan molekul obat HIV dalam partikel polimer yang sangat kecil yang mengeluarkan obat secara perlahan waktu disuntikkan. Hal ini dilakukan untuk menyederhanakan terapi HIV: ART suntikan yang dapat kita pakai sebulan sekali.

Perusahaan dan obat yang paling jauh menjalani penelitian ini adalah Tibotec/Johnson and Johnson dengan rilpivirine (TMC278), obat golongan NNRTI yang masih belum disetujui. Rilpivirine dipilih karena bentuk tabletnya mempunyai masa paruh yang lama dan bioavailabilitas yang tinggi, yang berarti dosis sehari sekali hanya 25mg (dibandingkan dengan 600mg untuk protease inhibitor (PI) darunavir produksi Tibotec).

Dr. Gerben van t’Klooster mempresentasikan temuan ini dalam Conference on Retroviruses and Opportunistic Infections (CROI) ke-15 di Boston.

Tibotec membentuk TMC278 sebagai penyangah partikel kecil yang dikeluarkan secara perlahan. Mereka tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai bagaimana partikel ini dibuat, kecuali mengatakan bahwa pembuatannya melibatkan apa yang disebut teknologi NanoCrystal. Partikel ini kurang lebih berdiameter 200 nanometer (nm, seperlimaribu milimeter), yang sebanding dengan ukuran virus HIV (120nm).

Kemudian dalam beberapa percobaan, penyanggah ini didosiskan sebagai suntikan di bawah kulit atau dalam otot pada tikus (dengan dosis 20mg per kg) dan pada anjing (dengan dosis sampai 300mg per hari).

Suntikan tunggal dari satu bentuk tertentu kemudian diberikan secara suntikan di bawah kulit atau dalam otot pada relawan yang HIV-negatif dengan dosis obat 200, 400 dan 600mg.

Rilpivirine dikeluarkan secara perlahan, memberi tingkat obat yang tertahan dan dapat diukur selama dua bulan pada tikus dan selama enam bulan pada manusia. Dalam penelitian terhadap hewan, suntikan di bawah kulit memberi tingkat obat yang tertahan lebih lama dibandingkan dengan suntikan dalam otot. Tetapi tidak ada perbedaan pada manusia. Ini adalah sesuatu yang baik karena relawan pada penelitian ini mengalami efek samping yang cukup tinggi – benjolan yang keras (indurasi), nyeri dan pembengkakan pada tempat suntikan – yang terjadi pada suntikan di bawah kulit namun tidak terjadi pada suntikan dalam otot.

Gerben van t’Klooster mengatakan bahwa konsentrasi obat paling tinggi tercapai kurang lebih tiga jam setelah suntikan. Tingkat dalam tubuh setelah satu dosis menurun ke tingkat IC90 efektif yang terendah dengan konsentrasi rilpivirine 94ng/ml (nanogram per milliliter) dalam beberapa hari. Tetapi uji coba pada anjing menunjukkan bahwa dengan dosis berulang mencapai tingkat obat ‘yang stabil’ dalam tubuh. Van t’Klooster menunjukkan model PK yang masih berupa teori ini menunjukkan bahwa setelah tingkat stabil ini tercapai, suntikan secara bulanan kemungkinan cukup untuk memastikan konsentrasi rilpivirine tidak turun di bawah batas IC90.

Van t’Klooster mengatakan langkah selanjutnya adalah untuk memekatkan rilpivirine dalam nanopartikel secara lebih efisien sehingga volume yang disuntikkan dapat dikurangi.

Dia menambahkan: “Saya berharap saya meyakinkan Anda terhadap kemungkinan munculnya pemberian dosis antiretroviral (ART) yang benar-benar dilakukan dengan jangka waktu yang lama – pada rangkaian profilaksis dan terapeutik,” memberi isyarat bahwa Tibotec juga tertarik dengan bentuk suntikan yang dikeluarkan secara perlahan ini untuk dipakai sebagai profilaksis prapajanan (PrPP) atau dalam mikrobisida.

Dia mengatakan bahwa Tibotec secara giat mencari molekul untuk dipasangkan dengan rilpivirine sehingga terapi kombinasi yang sungguh-sungguh dapat disuntikkan tersebut dapat ditemukan. Dia mengatakan bahwa obat semacam darunavir memerlukan dosis harian yang terlalu besar untuk memungkinkannya dijadikan sebagai formulasi suntikan yang dikeluarkan secara perlahan, karena volume suntikan yang besar tidak dapat ditahan.

Tetapi kelompok lain yang berpusat di Universitas Creighton di Omaha, Nebraska, berhasil menciptakan nanopartikel yang mengandung lopinavir, ritonavir dan efavirenz yang dapat dikeluarkan secara perlahan. Sejauh ini mereka hanya melakukan uji coba terhadap unsur pengeluaran obat dari partikel dengan menahannya dalam medium di piring laboratorium. Tingkat obat terbanyak yang dapat dicapai dalam medium ini tercapai dalam enam hari, tetapi pada hari ke-30 konsentrasi obat dalam medium tersebut masih ada, lebih dari 30mg/ml obat bahkan dengan perubahan medium secara rutin,. Mereka juga melakukan uji coba untuk menunjukkan bahwa nanopartikel mudah diserap oleh makrofag yang diambil dari monosit manusia, sejenis sel sistem kekebalan.

Dua buah poster lain menggambarkan secara rinci cara memakai nanopartikel. Dalam uji coba lain di Universitas Creighton, ilmuwan berhasil memasukkan indinavir ke dalam nanopartikel kemudian mengambil makrofag yang diambil dari sumsum tulang belakang (bone-marrow-derived macrophag/BMM), sejenis sel sistem kekebalan lain, untuk menyerapnya. Kemudian obat ini disuntikkan pada tikus yang pernah mempunyai ensefalitis terkait HIV. BMM secara luar biasa mampu berpindah menuju otak tempat sel dirusak karena peradangan terkait HIV. Sebaliknya BMM tidak ditemukan di bagian otak yang tidak meradang. Model ini memberi cara yang luar biasa dan sangat tepat untuk membidik obat yang biasanya tidak mampu menembus sawar darah-otak secara efisien, mencapai bagian otak yang paling membutuhkan obat tersebut.

Terakhir, tim dari Universitas North Carolina mengaitkan CCR5 inhibitor yang biasanya tidak aktif pada nanopartikel emas, dengan demikian kegiatan anti-HIV dapat diaktifkan kembali. Tujuan untuk melakukan ini adalah untuk menciptakan molekul kompleks obat-emas yang besar yang dapat berperan sebagai dan berinteraksi dengan protein virus yang besar, dan pada akhirnya mengembangkan mekanisme untuk memasukkan unsur ke dalam ruang sel yang terbukti sulit dibidik dengan obat molekul kecil. Sebuah contoh termasuk faktor kemampuan virus untuk menulari (viral infectivity factor/vif), protein HIV tambahan yang selama bertahun-tahun merupakan target yang menggiurkan untuk mengantar obat HIV tetapi selama ini terhindar dari obat penghambat.


DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

Penyebab dan perantara penularan.

Penyakit ini disebabkan oleh suatu virus yang menyebabkan gangguan pada pembuluh darah kapiler dan pada sistem pembekuan darah, sehingga mengakibatkan perdarahan-perdarahan.
Vektor yang berperan dalam penularan penyakit ini adalah nyamuk Aedes aegypti.

Manifestasi penyakit

Sesudah masa tunas / inkubasi selama 3 - 15 hari orang yang tertular dapat mengalami / menderita penyakit ini dalam salah satu dari 4 bentuk berikut ini, yaitu :
Bentuk abortif, penderita tidak merasakan suatu gejala apapun.
Dengue klasik, penderita mengalami demam tinggi selama 4 - 7 hari, nyeri-nyeri pada tulang, diikuti dengan munculnya bintik-bintik atau bercak-bercak perdarahan di bawah kulit.
Dengue Haemorrhagic Fever (Demam berdarah dengue/DBD) gejalanya sama dengan dengue klasik ditambah dengan perdarahan dari hidung, mulut, dubur dsb.
Dengue Syok Sindrom, gejalanya sama dengan DBD ditambah dengan syok / presyok pada bentuk ini sering terjadi kematian.

Karena seringnya terjadi perdarahan dan syok maka pada penyakit ini angka kematiannya cukup tinggi, oleh karena itu setiap Penderita yang diduga menderita Penyakit Demam Berdarah dalam tingkat yang manapun harus segera dibawa ke dokter atau Rumah Sakit, mengingat sewaktu-waktu dapat mengalami syok / kematian.

Pengobatan.

Pengobatan terhadap penyakit ini terutama ditujukan untuk mengatasi perdarahan, mencegah/mengatasi keadaan syok / presyok, yaitu dengan mengusahakan agar penderita banyak minum, bila perlu dilakukan pemberian cairan melalui infus.
Demam diusahakan diturunkan dengan kompres dingin, atau pemberian antipiretika

Pencegahan.

Pencegahan dilakukan dengan MENGHINDARI GIGITAN NYAMUK di sepanjang siang hari (pagi sampai sore) karena nyamuk aedes aktif di siang hari (bukan malam hari). Hal tersebut dapat dilaksanakan dengan menghindari berada di lokasi-lokasi yang banyak nyamuknya di siang hari, terutama di daerah yang ada penderita DBD nya. Bila memang sangat perlu untuk berada di tempat tersebut KENAKAN PAKAIAN YANG LEBIH TERTUTUP, celana panjang dan kemeja lengan panjang misalnya. GUNAKAN CAIRAN/KRIM ANTI NYAMUK (MOSQUITO REPELLANT) yang banyak dijual di toko-toko, pada bagian badan yang tidak tertutup pakaian.

Awasi lingkungan di dalam rumah dan di halaman rumah. Buang atau timbun benda-benda tak berguna yang menampung air, atau simpan sedemikian rupa sehingga tidak menampung air. Taburkan serbuk abate (yang dapat dibeli di apotik) pada bak mandi dan tempat penampung air lainnya, juga pada parit / selokan di dalam dan di sekitar rumah, terutama bila selokan itu airnya tidak / kurang mengalir. Kolam / akuarium jangan dibiarkan kosong tanpa ikan, isilah dengan ikan pemakan jentik nyamuk. Semprotlah bagian-bagian rumah dan halaman yang merupakan tempat berkeliarannya nyamuk, dengan obat semprot nyamuk (yang banyak dijual di toko-toko) BILA TAMPAK NYAMUK BERKELIARAN DI PAGI / SIANG / SORE HARI.

Bila ada salah seorang penghuni yang positif atau diduga menderita DBD, segera semprotlah seluruh bagian rumah dan halaman dengan obat semprot nyamuk di pagi, siang dan sore hari, sekalipun penderita tersebut sudah dirawat di rumah sakit. Hubungi PUSKESMAS setempat untuk meminta fogging di rumah-rumah di lingkungan setempat.

Pencegahan secara massal di lingkungan setempat dengan bekerja sama dengan RT/RW/Kelurahan dengan PUSKESMAS setempat dilakukan dengan Pembersihan Sarang Nyamuk (PSN), Fogging, atau memutuskan mata rantai pembiakan Aedes aegypti dengan Abatisasi.

Teks untuk tes

Template by - Abdul Munir - 2008 - layout4all